Kebudayaan asal, sistem kekerabatan, dan peranan laki-laki dalam penurunan fertilitas: Kasus orang Meybrat di Daerah Kepala Burung, Irian Jaya
Main Authors: | Teddy Kaleb Edward Wanane, author, Add author: Masinambow, Eduard Karel Markus, supervisor, Add author: Tapi Omas Ihromi, supervisor, Add author: Boedihartono, examiner, Add author: Melalatoa, Muhammad Junus, examiner, Add author: Meutia Farida Hatta Swasono, examiner |
---|---|
Format: | Masters Bachelors |
Terbitan: |
Universitas Indonesia
, 1997
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://lontar.ui.ac.id/detail?id=79007 |
Daftar Isi:
- Karya tulisan ini membicarakan keseimbangan dari pertambahan penduduk yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah jumlah penduduk dan kekuatan-kekuatan yang berupaya mengurangi jumlah penduduk. Kekuatan-kekuatan yang menambah jumlah penduduk lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah anak (bayi) yang lahir hidup atau pertambahan tingkat fertilitas dan kekuatan-kekuatan yang berupaya mengurangi jumlah penduduk melalui upaya penurunan tingkat fertilitas (kelahiran bayi yang nyata) oleh pemerintah lewat pelayanan program keluarga berencana (KB) dan pelayanan kesehatan. Dalam konteks upaya pengurangan jumlah penduduk itu dilaporkan tingkat fertilitas sudah turun, tetapi dalam kenyataan penduduk bertambah terus secara alami karena tingkat kelahiran yang masih tinggi. Hal ini mengartikan upaya penurunan fertilitas yang dilakukan itu lebih banyak gagal ketimbang berhasil. Kajian-kajian dan kebijaksanaan pembangunan keluarga berencana untuk penurunan tingkat fertilitas, umumnya lebih banyak didominasi oleh model-model sosiologi dan ekonomi. Masing-masing model itu di satu sisi berjalan sendiri-sendiri, bahkan terdapat perbedaan yang mendasar dalam model-model tersebut. Di lain sisi juga terdapat upaya penggabungan dari model-model tersebut sehingga terwujud sebagai pendekatan antarbidang. Seperti, misalnya, yang ditunjukan Terence Hull (1976), atau Singarimbun, dkk (1976) yang memfokuskan unit analisis-nya pada preferensi yang memperhitungkan variabel sosial dan ekonomi sebagaimana diduga akan mempengaruhi proses pembuatan keputusan keluarga (individu) sebagai sebuah model pendekatan untuk kajian fertilitas. Dalam model-model pendekatan itu, penekanan sasaran analisisnya terletak pada selera keluarga sebagai individu dalam hal pengambilan keputusan, disamping memperhitungkan variabel harga (price) dan pendapatan (income). Kebudayaan asal dan sistem kekerabatan sebagai variabel babas yang mengikat keluarga itu tidak diperhitungkan secara sungguh-sungguh, dan atau kalau juga diperhitungkan, hanya diperlakukan sebagai kembangan saja dari model-model kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat Barat [Eropa-Amerika]. Karya tulisan ini bertujuan untuk mau memperlihatkan penting inkorporasi analisis kebudayaan (asal), sistem kekerabatan, dan peranan laki-laki dalam fertilitas patut diperhitungkan secara sungguh-sungguh (utuh) dalam model-model teoritikal fertilitas yang selama ini dilakukan. Perhitungannya, harus dimasukkan sebagai bagian yang integral dari model kajian-kajian dan kebijaksanaan pembangunan keluarga berencana untuk penurunan tingkat fertilitas. Siatem kekerabatan yang mengikat dan mengatur keluarga itu sebagai suatu model pengetahuan saling berhubungan kait-mengkait dan mempengaruhi model-model pengetahuan lainnya yang terdapat dalam kebudayaannya. Seperti, model-model pengetahuan normatif dan ideal yang ditekankan dalam kebudayaan (asal) dan diterapkan melalui kekerabatan sebagai pedoman (petunjuk) tentang apakah peranan laki-laki, dan atau perempuan dalam fertilitas. Di dalam kasus keluarga orang Meybrat di daerah Kepala Burung-Irian Jaya yang dideskripsikan ditemukan ditemukan sejumlah premis-premis budaya yang memperlihatkan betapa besarnya peranan laki-laki dalam fertilitas sebagaimana dipengaruhi oleh kebudayaan dan sistem kekerabatan yang mewarnainya. Premis-premis budaya itu,antara lain: pertama, kebudayaan asal orang Meybrat amat menekankan pentingnya berkembang-biak, memperbanyak keturunan, dan meningkatkan kualitas keturunan untuk meningkatkan martabat nenek moyang. Penekanan itu dioperasionalkan melalui sistem kekerabatan yang menekankan keharusan memperoleh keturunan melalui berbagai petunjuk yang ada dalam kebudayaannya. Petunjuk-petunjuk itu mencakup persetubuhan, perkawinan dan pembayaran harta maskawin, peranan laki-laki dan peranan perempuan, pria atau wanita yang cocok dijadikan pasangan hidup untuk kebahagiaan secara biologis, sosial dan kebudayaan; kedua, kehamilan dan kelahiran anak (hasil reproduksi) yang nyata dari seorang wanita (isteri) yang disebut fertilitas dalam pengertian demografi itu, dalam konteks kebudayaan orang Meybrat ditanggapi sebagai "regenerasi kosmos" yang terjadi dengan memadukan "tenaga pria (semen atau kejantanan laki-laki)" dan "kesuburan wanita" . Mereka mengatakan bahwa hubungan seksuil (persetubuhan) wanita dengan seorang pria memang merupakan prasyarat yang diperlukan bagi kehamilan dan kelahiran anak, tetapi animasi dari potensi si calon ku-mes(anak bayi) yang dibentuk oleh sintesa dari tenaga pria (semen) dan kesuburan wanita (cairan) merupakan suatu yang jauh lebih luas bersifat "spirituil", dan bukan bersifat "fisik yang nyata". Bandingkan upacara-upacara lingkaran hidup (life cycle), seperti upacara neche-mamas (kematian) yang dilakukan, serentak bersamaan dengan itu juga diselenggarakan serangkaian upacara-upacara kontak perkawinan, peminangan gadis, pembayaran harta maskawin, pemberian kain timur dari laki-laki yang serentak pula dibalas dengan pemberian makanan dari wanita, serta upacara pemberian ru-re yang akan segera dibalas pula dengan upacara transaksi tukar-menukar ka i n t imur antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Perwujudan upacara-upacara kematian yang berlawanan dengan upacara upacara-upacara perkawinan itu merupakan upaya-upaya di dalam rangka orang harus masuk ke dunia bawah guna memperoleh kehidupan atau kelahiran baru (anak, ekonomi, dsb). Di dalam upaya memasuki dunia-bawah (persetubuhan), serentak masuk bersamaan ke dalam kontak perpaduan semen (sperma) dan cairan (kesuburan) itu roh leluhur kepada kehidupan baru atau kelahiran kembali. Dunia-bawah yang ditanggapi sebagai sumber asal kehidupan manusia itu dipandang sama dengan dunia kewanitaan (kesuburan) yang disebut dengan konsep ko (vagina = wanita = ibu-asal) sumber segala kehidupan (anak, ekonomi, sosial, politik, keagamaan). Jadi orang Meybrat melihat kejadian itu dalam suatu bantuk berpikir dialektika, yang mengacu kepada ajaran Hegel, yang mengatakan bahwa "segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan dua hal (unsur) dan menimbulkan hal-hal (unsure-unsur) yang lain. Metaforiknya, manusia sebagai superorganik dari budaya yang dipengaruhi dan yang mempengaruhi keseluruhan jaringan kehidupan. Maksudnya, sebagian dari unsur-unsur budaya berasal dari hasil hubungan antarmanusia dengan lingkungan, dan sebagian lainnya berasal dari proses adaptasi budaya terhadap lingkungan; ketiga, hubungan kekerabatan yang terwujud di dalam sistem kekerabatan orang Meybrat, yang disebut tafoch ditanggapi sebagai "api" atau "jantung" dari struktur sosialnya. Orang-orang yang menarik diri dari kahidupan kekerabatan yang penting itu, dipandang sebagai penghianat dan tidak bermoral terhadap kesetiaan kerabat. Sikap pengunduran diri seseorang dari hubungan kekerabatan itu merupakan kejahatan besar. Orang-orang (keluarga) bersikap demikian biasanya diharapkan harus segera dibarengi dengan kematian daripada hidup lama di dunia". Kekerabatan diketahui sangat penting sebagai perangkat adaptasi, guna memperoleh sumber-sumber ekonomi, sosial dan politik, kesehatan dan pendidikan di dalam masyarakat umum. Prinsip orientasi keluarga conjugal yang betul-betul mandiri seperti pada masyarakat Barat tidak terdapat di dalam masyarakat sosial orang Meybrat keempat, sistem kekerabatan sebagai pembawa amanah dari kebudayaan asal menekankan keharusan untuk meneruskan keturunan, dan keharusan itu harus dimainkan oleh seorang laki-laki dalam struktur kekerabatan orang Meybrat yang berdasarkan prinsip patrilineal. Orientasi nilai orang laki-laki dalam kebudayaan asal orang Meybrat dipandang sebagai "makluk tertinggi (Yefoon) dan "tokoh sakti"(taqu) yang memberi benang penghubung (yang hidup) antara janin dan tembuni. Tanpa animasi itu si calon bayi yang dibentuk oleh sintesa dari semen (sperma) dan cairan (kesuburan) tidak akan terjadi sesuatu hubungan antara janin dan tembuni. Lak i - laki merupakan kepanjangan tangan keluarga yang dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang membawa amanah kebudayaan asal untuk memainkan peranan sebagai pejantan yang sangat dibutuhkan oleh seorang wanita untuk mengembangkan kesuburannya menjadi kongkrit dan mendapat status di masyarakat luar. Meskipun wanita merupakan tokoh yang dominan dalam kebudayaan dan kekerabatan orang Meybrat, tetapi dia tetap dapat mengakui bahwa dia sangat membutuhkan seorang seorang laki-laki sebagai animator (pemain lawan) guna mengubah kekuatan-asal (potensi)nya yang abstrak itu menjadi kesuburan yang kongkrit, yaitu hamil dan melahirkan anak-anak bagi kelangsungan keturunan. kelima, peranan pendidikan modern belum mampu merubah nilai- nilai budaya yang menjadi orientasi keluarga orang Meybrat, khususnya peranan laki-laki dalam fertilitas bagi kelangsungan keturunan. Hal ini terungkap dalam sikap terhadap program KB dan peranan laki-laki di bab VI. Dalam konteks ini, peranan laki-laki dalam pendekatan kajian penurunan fertilitas sangat besar ketimbang wanita yang dijadikan sebagai obyek kajian fertilitas dalam kebijaksanaan program keluarga berencana (KB).