Kendala penerapan parate eksekusi pasal 6 undang-undang nomor 4 Tahun 1996 pada masa insolvensi kepailitan debitor korporasi (analisis kasus PT Bank X

Main Authors: Marpaung, Nurintan Rismauli, author, Add author: Arie Sukanti Sumantri, supervisor, Add author: Heru Susetyo, examiner, Add author: Hendriani Parwitasari, examiner
Format: Masters Bachelors
Terbitan: Universitas Indonesia , 2012
Online Access: https://lib.ui.ac.id/detail?id=20289110
Daftar Isi:
  • Kredit perbankan dalam jumlah besar diperlukan untuk mencapai kesinambungan pembangunan dan ekonomi, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum. Resiko kredit atau default risk dihadapi manajemen perbankan akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima dari bank beserta bunganya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Kondisi ini dapat menimbulkan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Dalam upaya memberikan perlindungan bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait, diperlukan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan terutama dalam hal pengembalian dana yang telah diberikan oleh kreditur perbankan. Hak Tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu serta kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) Nomor 4 Tahun 1996, diberikan kewenangan bagi pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama untuk melakukan parate eksekusi. Ketika debitur dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga, maka mengacu pada Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) Nomor 37 Tahun 2004 diatur bahwa hak eksekusi oleh kreditur separatis baru dapat dilaksanakan dalam waktu 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insolvensi. Terdapat kendalakendala yang dihadapi oleh kreditur perbankan PT. Bank X ketika akan melakukan parate eksekusi pada masa insolvensi kepailitan debitur korporasi yaitu adanya waktu yang sangat terbatas untuk melaksanakan parate eksekusi Hak Tanggungan, hambatan dari Kurator dan para buruh / karyawan debitur korporasi, keberatan dari kreditur lainnya, serta adanya piutang pajak sebagai piutang yang paling preferen. Untuk mengurangi berbagai kendala tersebut, perlu adanya ketentuan yang lebih jelas mengatur hak-hak dan kewajiban berbagai pihak sehubungan dengan pelaksanaan parate eksekusi yang dilakukan oleh kreditur separatis pada masa insolvensi kepailitan dengan tetap melindungi hak kreditur separatis dalam upaya memperoleh pengembalian piutangnya. <hr> Large amounts of bank credit is required to fund a sustainable economic development, whether committed by governments as well as society both act as individuals or legal entities. Credit risk or default risk often faced by the banking management is caused by customer?s failure or inability in returning the principle and interest borrowings from banks. This condition will lead in the creation of bad loans or non-performing loans (NPLs). As an effort to provide protection for the creditor and debtor and other relevant parties, a strong guarantee rights institution is required in order to provide legal certainties for all parties concerned, especially to recover the fund that has been granted by the creditor banks. Hak Tanggungan is a security right over the land for repayment of certain debt and preferred status to certain creditors of other creditors. Article 6 of Hak Tanggungan Law on Land and Its Goods Relating to Land No. 4 of 1996, provides authority to the first ranked holders of Hak Tanggungan in exercising the so-called parate executie. As the debtor is declared bankrupt by the Commercial Court decision, it refers to the Bankruptcy Act and the Suspension of Payment (UUK-PKPU) No. 37 of 2004 stipulated that the right of execution by a new separatist creditors can occur within 2 (two) months from the commencement of a state insolvency. There are some constraints faced by the creditor PT. Bank X in performing parate executie on the case of corporate debtor's bankruptcy due to the very limited time to exercise parate executie of Hak Tanggungan, also other matters related to regulations and from things outside regulations. To reduce these obstacles, there is a need for clearer provisions governing the rights and obligations of various parties in connection with the implementation of parate execution carried out by separatist creditors during the insolvency of corporate debtor while still protecting the rights of creditors in an attempt to return the separatist claims.