Dunia usaha dan pelayanan publik: studi tentang minat usaha kecil dalam mengurus perizinan di kantor pelayanan terpadu (KPT) Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara

Main Authors: Dadang Darmawan, author, Add author: Mohammad Riduansyah, supervisor, Add author: Amy Yayuk Sri Rahayu, examiner, Add author: Zuliansyah Putra Zulkarnain, examiner, Add author: Bhenyamin Hoessein, examiner
Format: Masters Thesis
Terbitan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2008
Subjects:
Online Access: https://lib.ui.ac.id/detail?id=116668
ctrlnum 116668
fullrecord <?xml version="1.0"?> <dc schemaLocation="http://www.openarchives.org/OAI/2.0/oai_dc/ http://www.openarchives.org/OAI/2.0/oai_dc.xsd"><type>Thesis:Masters</type><title>Dunia usaha dan pelayanan publik: studi tentang minat usaha kecil dalam mengurus perizinan di kantor pelayanan terpadu (KPT) Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara</title><creator>Dadang Darmawan, author</creator><creator>Add author: Mohammad Riduansyah, supervisor</creator><creator>Add author: Amy Yayuk Sri Rahayu, examiner</creator><creator>Add author: Zuliansyah Putra Zulkarnain, examiner</creator><creator>Add author: Bhenyamin Hoessein, examiner</creator><publisher>Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia</publisher><date>2008</date><subject>Business law -- Indonesia</subject><description>Pengalaman membuktikan bahwa di Indonesia pelayanan publik tidak berjalan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Pemerintah yang didukung oleh birokrasi tidak pernah membentuk budaya pelayanan untuk melayani rakyat dengan sebaiknya-baiknya. Bahkan, birokrasi yang seharusnya sebagai abdi rakyat, sering berlaku secara diskriminatif yang hanya melayani orang-orang tertentu. Birokrasi lebih melayani para penguasa, yang berduit,dan keluarga tertentu, sehingga pelayanan hanya bisa dinikmati mereka yang ?berpunya?, dengan mengesampingkan ?mereka yang papa?. Dampak ikutannya adalah perekonomian nasional menjadi rapuh, kekayaan terkonsentrasi di segelintir orang, dan iklim usaha di Indonesia anjlok. Banyak kalangan investor baik internasional, nasional dan lokal bahkan rakyat yang ingin berdagang menjadi enggan untuk berinvestasi, karena beratnya proses yang akan dilalui. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1996 sudah mengambil langkah-langkah konkrit untuk melakukan pelayanan perijinan terpadu yaitu dengan dikeluarkannya Keppres No.29/2004 tanggal 12 April 2004 tentang pelayanan satu atap dalam perijinan investasi. Tidak itu saja, pemerintah juga mengeluarkan serangkaian kebijakan diantaranya: (1) revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, (2) mengeluarkan Kepmen PAN 63/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, serta (3) mengeluarkan Permendagri 24/2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpada satu Pintu. Beberapa daerah yang menerapkan (Sragen, Jembrana, Solok), hasilnya sangat menggembirakan yang di tandai dengan menurunnya angka kemiskinan, meningkatnya PAD, dan tumbuhnya sektor usaha kecil dengan baik sehingga menambah lapangan pekerjaan. Tidak ketinggalan dengan daerah lainnya, Kabupaten Serdang Bedagai di Propinsi Sumatera Utara kemudian memberlakukan kebijakan pelayanan perijinan satu pintu dengan membentuk Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) pada bulan september, tahun 2006. Sejak diberlakukannya KPT di Kab. Serdang Bedagai tampak peningkatan dalam jumlah perijinan dan bertambahnya PAD dari sektor pengurusan perijinan. Namun, pembentukan KPT tersebut belum menampakkan hasil yang optimal jika dibandingkan dengan potensi usaha kecil yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai. Sekalipun terjadi peningkatan jumlah usaha yang mendaftar (tahun 2007 ada sebanyak 2.500 usaha yang mendaftar), namun angka tersebut masih relatif jauh dari potensi usaha di kabupaten Serdang Bedagai yang berjumlah 46.000 usaha. Khususnya usaha kecil, keberadaan KPT Kabupaten Serdang Bedagai, justru di respon dengan cara yang beragam. Ada pelaku suaha kecil yang menyambut baik adanya KPT namun, tidak sedikit kalangan usaha kecil yang justru tidak memnafaatkan keberadaan KPT. Di sisi yang lain KPT gencar melakukan sosialisasi, menghimbau, mengajak dan ?merayu? pelaku usaha untuk mengdaftarkan usahanya ke KPT Serdang Bedagai. Untuk melihat secara lebih mendalam latar belakang belum optimalnya usaha kecil mendaftarkan usahanya ke KPT maka penelitian ini dilakukan. Untuk kepentingan pendalaman bahasan maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif yang bertumpu pada peneliti sebagai instrumen penelitian. Penelitian ini juga mendeteksi nara sumber sebagai informan kunci. Penelitian ini membuktikan bahwa ada sejumlah masalah yang melatari belum optimalnya usaha kecil mengurus izin usahanya ke KPT sekalipun urusan ke KPT saat ini lebih mudah, transparan, murah dan cepat. Temuan lapangan menggambarkan bahwa masih terdapat berbagai kelemahan keberadaan KPT Serdang Bedagai yaitu, pertama, pelayanan di KPT belum optimal yang ditandai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan usaha kecil dan biaya pengurusan ijin yang masih memberatkan, sosialisasi belum merata, dan terkesan hanya kejar PAD. Kedua, birokrasi belum berubah (koordinasi dan kebersamaan antar SKPD dalam mendorong usaha kecil lemah, pelayanan perizinan tidak diikuti reformasi birokrasi, sehingga pungli masih terjadi di desa maupun di camat). Ketiga, peran perbankan belum optimal (sekalipun KPT menggandeng perbankan untuk memberi modal usaha kepada usaha kecil tetapi kebijakan perbank masih dianggap memberatkan seperti kebijakan agunan, bunga dan syarat-syarat administrasi lainnya). Keempat, persepsi masyarakat tentang buruknya pelayanan perizinan masa lalu yang berbelit-belit, mahal, gak jelas, belum sepenuhnya bergeser dan dapat dihilangkan. Rekomendasi penting yang dapat di lakukan oleh pengambil kebijakan di Kabupaten Sedang Bedagai adalah, membebaskan biaya pengurusan ijin bagi usaha kecil selama 5 tahun, membangun kerjasama dengan pihak bank menyangkut jaminan dan bunga pinjaman, melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh jadi tidak parsial di pelayanan perizinan saja, membangun infra struktur kebutuhan usaha kecil di kabupaten serdang Bedagai. &lt;hr&gt; Experience had proven that Indonesian public services have not been well delivered and not match with the people needs. The status quo bureaucracy never establishes serving culture to better serve the people. Moreover, bureaucracy that supposed to be the public servant often act discriminatively, especially for certain people. Bureaucracy tends to serve the authority, the rich, certain families. Consequently, public services would enjoyed only by those who are ?the have? not by ?the have not?. These terrible public services resulted in the weakened economic foundation, increased corruption, collusion and nepotism (KKN) practices among the bureaucrats, and rapid declining business climate. Many international, national and local investors unwilling to put their investment in Indonesia. Additionally, ordinary people also hesitate to do business due to the long, heavy and time consuming business licensing procedures. These situations have pushed the government to change its policy for more efficient business licensing. Several concrete steps had been undertaken to establish one stop services (OSS) system. This system is applied through the enactment of Presidential Decree No 29/2004 dated 12 April 2004 on OSS in investment license. Additionally, the government also preceded serial law and regulations to support the implementation of OSS, i.e. (1) Revision of Law No 32/2004 on regional autonomy, (2) MenPan (Ministry of apparatus reform) Decree No 63/2004 on General Guidance of Public Service and (3) Ministry of Home Affairs Decree No 24/2006 on establishment of OSS in the region. Several local governments such as Sragen, Jembrana and Solok districts had applied the OSS policy. The result indicates many improvements such as declining poverty index, increasing local revenue, growing number of microenterprises and employment. Serdang Bedagai regency in North Sumatera Province also applied the OSS through the establishment of Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) in September 2006. Since the KPT operated in Serdang Bedagai, there are increased number of business license issued, increasing local revenue due to increasing income from the issued licenses. However the establishment of KPT still has not achieved optimal outcome compared to the large growing of microenterprises in Serdang Bedagai regency. Although the number of registered microenterprises had significantly increased (2500 microenterprises registered in 2007), these number are still far under the potency, there are about 46.000 enterprises in Serdang Bedagai regency. Various responses regarding the existence of KPT, especially among the microenterprises. Some have good responses, but there are many do not utilize the ease KPT facilitations. On the other side KPT incessantly socializing, informing and persuading the business actor to register their business at KPT. This study applies qualitative descriptive approach to analyze the interest of micro enterprises in obtaining business license from Serdang Bedagai Regency one stop services/OSS office. Six informant were interviewed to explore the effectiveness of KPT services in relation with its procedures, socialization, cost services (tariff), coordination with other district related agencies/offices and the interest of small and micro enterprises to obtain business license. The result of depth interviews were transcript and recorded into three categories: KPT system, Perception of small and micro enterprises towards and main issues being faced by small and micro enterprises. The result of the study shows that several factors had made the small and micro enterprises reluctant to register their business to the KPT. The study indicates First, weakness of KPT system and procedures had influence the enterprises awareness to register their business i.e. high cost of services (tariff), long and heavy pre-requisite documents before submission business registration application to KPT an ineffective socializations. Second, there were no significant administration reforms at other agencies/offices (dinas/kantor) that have relation in issuing enterprises license, this had resulted weak coordination among the stakeholders. Thirdly, in optimal roles of banking sector. Although the KPT has an MoU with the Bank, but the Bank still applied standard loan procedures for the micro enterprises who recommended by the KPT. Finally, from the business views, the KPT still applied the unreformed red tape bureaucracy. This study recommends Serdang Bedagai regency to undertake measures as follows (1) release registration fee for microenterprise in applying business license at KPT at least for next 5 years, (2) establish concrete cooperation with banking institutions regarding the low interest rate for the recommended micro enterprises, (3) conduct comprehensive administrative/bureaucracy reform at all offices/agencies and (4) develop required infrastructure for small and microenterprise development.</description><identifier>https://lib.ui.ac.id/detail?id=116668</identifier><recordID>116668</recordID></dc>
format Thesis:Masters
Thesis
Thesis:Thesis
author Dadang Darmawan, author
Add author: Mohammad Riduansyah, supervisor
Add author: Amy Yayuk Sri Rahayu, examiner
Add author: Zuliansyah Putra Zulkarnain, examiner
Add author: Bhenyamin Hoessein, examiner
title Dunia usaha dan pelayanan publik: studi tentang minat usaha kecil dalam mengurus perizinan di kantor pelayanan terpadu (KPT) Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara
publisher Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
publishDate 2008
topic Business law -- Indonesia
url https://lib.ui.ac.id/detail?id=116668
contents Pengalaman membuktikan bahwa di Indonesia pelayanan publik tidak berjalan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Pemerintah yang didukung oleh birokrasi tidak pernah membentuk budaya pelayanan untuk melayani rakyat dengan sebaiknya-baiknya. Bahkan, birokrasi yang seharusnya sebagai abdi rakyat, sering berlaku secara diskriminatif yang hanya melayani orang-orang tertentu. Birokrasi lebih melayani para penguasa, yang berduit,dan keluarga tertentu, sehingga pelayanan hanya bisa dinikmati mereka yang ?berpunya?, dengan mengesampingkan ?mereka yang papa?. Dampak ikutannya adalah perekonomian nasional menjadi rapuh, kekayaan terkonsentrasi di segelintir orang, dan iklim usaha di Indonesia anjlok. Banyak kalangan investor baik internasional, nasional dan lokal bahkan rakyat yang ingin berdagang menjadi enggan untuk berinvestasi, karena beratnya proses yang akan dilalui. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1996 sudah mengambil langkah-langkah konkrit untuk melakukan pelayanan perijinan terpadu yaitu dengan dikeluarkannya Keppres No.29/2004 tanggal 12 April 2004 tentang pelayanan satu atap dalam perijinan investasi. Tidak itu saja, pemerintah juga mengeluarkan serangkaian kebijakan diantaranya: (1) revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, (2) mengeluarkan Kepmen PAN 63/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, serta (3) mengeluarkan Permendagri 24/2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpada satu Pintu. Beberapa daerah yang menerapkan (Sragen, Jembrana, Solok), hasilnya sangat menggembirakan yang di tandai dengan menurunnya angka kemiskinan, meningkatnya PAD, dan tumbuhnya sektor usaha kecil dengan baik sehingga menambah lapangan pekerjaan. Tidak ketinggalan dengan daerah lainnya, Kabupaten Serdang Bedagai di Propinsi Sumatera Utara kemudian memberlakukan kebijakan pelayanan perijinan satu pintu dengan membentuk Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) pada bulan september, tahun 2006. Sejak diberlakukannya KPT di Kab. Serdang Bedagai tampak peningkatan dalam jumlah perijinan dan bertambahnya PAD dari sektor pengurusan perijinan. Namun, pembentukan KPT tersebut belum menampakkan hasil yang optimal jika dibandingkan dengan potensi usaha kecil yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai. Sekalipun terjadi peningkatan jumlah usaha yang mendaftar (tahun 2007 ada sebanyak 2.500 usaha yang mendaftar), namun angka tersebut masih relatif jauh dari potensi usaha di kabupaten Serdang Bedagai yang berjumlah 46.000 usaha. Khususnya usaha kecil, keberadaan KPT Kabupaten Serdang Bedagai, justru di respon dengan cara yang beragam. Ada pelaku suaha kecil yang menyambut baik adanya KPT namun, tidak sedikit kalangan usaha kecil yang justru tidak memnafaatkan keberadaan KPT. Di sisi yang lain KPT gencar melakukan sosialisasi, menghimbau, mengajak dan ?merayu? pelaku usaha untuk mengdaftarkan usahanya ke KPT Serdang Bedagai. Untuk melihat secara lebih mendalam latar belakang belum optimalnya usaha kecil mendaftarkan usahanya ke KPT maka penelitian ini dilakukan. Untuk kepentingan pendalaman bahasan maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif yang bertumpu pada peneliti sebagai instrumen penelitian. Penelitian ini juga mendeteksi nara sumber sebagai informan kunci. Penelitian ini membuktikan bahwa ada sejumlah masalah yang melatari belum optimalnya usaha kecil mengurus izin usahanya ke KPT sekalipun urusan ke KPT saat ini lebih mudah, transparan, murah dan cepat. Temuan lapangan menggambarkan bahwa masih terdapat berbagai kelemahan keberadaan KPT Serdang Bedagai yaitu, pertama, pelayanan di KPT belum optimal yang ditandai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan usaha kecil dan biaya pengurusan ijin yang masih memberatkan, sosialisasi belum merata, dan terkesan hanya kejar PAD. Kedua, birokrasi belum berubah (koordinasi dan kebersamaan antar SKPD dalam mendorong usaha kecil lemah, pelayanan perizinan tidak diikuti reformasi birokrasi, sehingga pungli masih terjadi di desa maupun di camat). Ketiga, peran perbankan belum optimal (sekalipun KPT menggandeng perbankan untuk memberi modal usaha kepada usaha kecil tetapi kebijakan perbank masih dianggap memberatkan seperti kebijakan agunan, bunga dan syarat-syarat administrasi lainnya). Keempat, persepsi masyarakat tentang buruknya pelayanan perizinan masa lalu yang berbelit-belit, mahal, gak jelas, belum sepenuhnya bergeser dan dapat dihilangkan. Rekomendasi penting yang dapat di lakukan oleh pengambil kebijakan di Kabupaten Sedang Bedagai adalah, membebaskan biaya pengurusan ijin bagi usaha kecil selama 5 tahun, membangun kerjasama dengan pihak bank menyangkut jaminan dan bunga pinjaman, melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh jadi tidak parsial di pelayanan perizinan saja, membangun infra struktur kebutuhan usaha kecil di kabupaten serdang Bedagai. <hr> Experience had proven that Indonesian public services have not been well delivered and not match with the people needs. The status quo bureaucracy never establishes serving culture to better serve the people. Moreover, bureaucracy that supposed to be the public servant often act discriminatively, especially for certain people. Bureaucracy tends to serve the authority, the rich, certain families. Consequently, public services would enjoyed only by those who are ?the have? not by ?the have not?. These terrible public services resulted in the weakened economic foundation, increased corruption, collusion and nepotism (KKN) practices among the bureaucrats, and rapid declining business climate. Many international, national and local investors unwilling to put their investment in Indonesia. Additionally, ordinary people also hesitate to do business due to the long, heavy and time consuming business licensing procedures. These situations have pushed the government to change its policy for more efficient business licensing. Several concrete steps had been undertaken to establish one stop services (OSS) system. This system is applied through the enactment of Presidential Decree No 29/2004 dated 12 April 2004 on OSS in investment license. Additionally, the government also preceded serial law and regulations to support the implementation of OSS, i.e. (1) Revision of Law No 32/2004 on regional autonomy, (2) MenPan (Ministry of apparatus reform) Decree No 63/2004 on General Guidance of Public Service and (3) Ministry of Home Affairs Decree No 24/2006 on establishment of OSS in the region. Several local governments such as Sragen, Jembrana and Solok districts had applied the OSS policy. The result indicates many improvements such as declining poverty index, increasing local revenue, growing number of microenterprises and employment. Serdang Bedagai regency in North Sumatera Province also applied the OSS through the establishment of Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) in September 2006. Since the KPT operated in Serdang Bedagai, there are increased number of business license issued, increasing local revenue due to increasing income from the issued licenses. However the establishment of KPT still has not achieved optimal outcome compared to the large growing of microenterprises in Serdang Bedagai regency. Although the number of registered microenterprises had significantly increased (2500 microenterprises registered in 2007), these number are still far under the potency, there are about 46.000 enterprises in Serdang Bedagai regency. Various responses regarding the existence of KPT, especially among the microenterprises. Some have good responses, but there are many do not utilize the ease KPT facilitations. On the other side KPT incessantly socializing, informing and persuading the business actor to register their business at KPT. This study applies qualitative descriptive approach to analyze the interest of micro enterprises in obtaining business license from Serdang Bedagai Regency one stop services/OSS office. Six informant were interviewed to explore the effectiveness of KPT services in relation with its procedures, socialization, cost services (tariff), coordination with other district related agencies/offices and the interest of small and micro enterprises to obtain business license. The result of depth interviews were transcript and recorded into three categories: KPT system, Perception of small and micro enterprises towards and main issues being faced by small and micro enterprises. The result of the study shows that several factors had made the small and micro enterprises reluctant to register their business to the KPT. The study indicates First, weakness of KPT system and procedures had influence the enterprises awareness to register their business i.e. high cost of services (tariff), long and heavy pre-requisite documents before submission business registration application to KPT an ineffective socializations. Second, there were no significant administration reforms at other agencies/offices (dinas/kantor) that have relation in issuing enterprises license, this had resulted weak coordination among the stakeholders. Thirdly, in optimal roles of banking sector. Although the KPT has an MoU with the Bank, but the Bank still applied standard loan procedures for the micro enterprises who recommended by the KPT. Finally, from the business views, the KPT still applied the unreformed red tape bureaucracy. This study recommends Serdang Bedagai regency to undertake measures as follows (1) release registration fee for microenterprise in applying business license at KPT at least for next 5 years, (2) establish concrete cooperation with banking institutions regarding the low interest rate for the recommended micro enterprises, (3) conduct comprehensive administrative/bureaucracy reform at all offices/agencies and (4) develop required infrastructure for small and microenterprise development.
id IOS18070.116668
institution Universitas Indonesia
institution_id 51
institution_type library:university
library
library Perpustakaan Universitas Indonesia
library_id 492
collection Repository Tugas Akhir Universitas Indonesia
repository_id 18070
city KOTA DEPOK
province JAWA BARAT
repoId IOS18070
first_indexed 2022-12-14T06:16:06Z
last_indexed 2022-12-14T06:16:06Z
recordtype dc
merged_child_boolean 1
_version_ 1752197869531561984
score 17.610285