Formasi dan struktur gerakan sosial petani (studi kasus reklaimin dan penjarahan atas tanah (PTNP XII (Persero) Kalibakar Malang Selatan) = Formation and structure of peasant's social movement ( A case study on the land reclaiming and plundering of the PTPN XII (Persero) at Kalibakar, South Malang)
Main Author: | Wahyudi, author |
---|---|
Format: | Doctoral Thesis |
Terbitan: |
, 2005
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20425940-D811-Wahyudi.pdf |
Daftar Isi:
- <b>ABSTRAK</b><br> Petani sebagai suatu klas, merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang hampir dalam seluruh aspek kehidupannya terpuruk. Dalam perjalanan sejarahnya, petani selalu menghadapi permasalahan dengan ketersediaan lahan untuk kepentingan mata pencahariannya. Salah satu strategi perjuangan untuk mendapatkan jaminan ketersediaan lahan adalah melalui tekanan kepada pemerintah untuk menerapkan program land reform. Indonesia sebagi salah satu negara eks jajahan Belanda juga menyisakan persoalan penanahan yang sangat serius bagi petani, yakni ketidak-jelasan status kepemilikan tanah yang pernah diberikan kepada nenek moyangnya pada jaman penjajahan Jepang dan pada periode agresi Belanda ke-II. Ketidak-jelasan status tanah itu semakin diperparah dengan kurang berhasilnya penataan agraria oleh pemerintah Indonesia. Gerakan petani Kalibakar adalah bagian dari dinamika petani Indonesia yang menginginkan bagi diterapkannya aturan land reform atas tanah eks HGU perkebunan Belanda, sehingga status tanah yang ditempati menjadi jelas. Gerakan ini tidak hanya melibatkan petani Kalibakar saja., tetapi juga orang-orang dan institusi di luar petani. Penelitian ini memberikan kategori, bahwa gerakan petani Kalibakar telah terjadi pada empat era, yakni era ?jaringan terbatas? (tahun 1992-1993), era ?perluasan jaringan? (tahun 1996-1997), era ?puncak jaringan? (tahun 1998-2000), dan era ?deklinasi gerakan? (tahun 2001-2005). Melalui strategi reklaiming (istilah petani) atau penjarahan (istilah perkebunan), para petani Kalibakar akhirnya berhasil menduduki sekitar 94% dari areal perkebunan seluas ± 205 0,50 ha. Temuan lapangan dari penelitian ini dianalisa dengan dua teori, yakni teori Smelser (1962) tentang the important determinants of collective behavior dan teori Charles Tilly (1978) tentang the main determinants of collective action. Teori Smelser lebih dipergunakan untuk menganalisa posisi aktor gerakan yang menginginkan bagi diterapkannya norma penataan tanah, sedang teori Tilly dipergunakan untuk mengkaji poisis aktor yang mengejar interest berupa aset tanah dan ?kekuasaan sosial-politik' Peneliti mencoba mengkawinkan atau mengkonvergensikan kedua teori tersebut untuk menganalisa kasus Kalibakar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui formasi dan struktur gerakan sosial yang dilakukkan oleh petani Kalibakar. Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif dengan analisa grounded theory. Sampai dengan akhir penelitian, diketahui bahwa subyek penelitian ini berjumlah 37 orang yang berasal dari: para pemimpin dan anggota gerakan petani, pimpinan dan karyawan perkebunan, pemerintah, institusi agama, LSM , para free riders, Serta beberapa anggota masyarakat Kalihakar. Berdasarkan pengembangan penelitian akhimya ditemukan tiga tipe aktor gerakan. Pertama, tipe ?idealis?, yakni mereka yang lebih berorientasi pada norma land reform (norm-oriented). Aktor tipe ini berasal dari para pimpinan gerakan, LSM, dan kalangan mahasiswa. Kedua, tipe ?materialis?, yakni mereka yang lebih berorientasi pada resources yang berupa tanah (resource-oriented). Aktor tipe ini berasal dari para pengikut gerakan foIlowers), yakni petani biasa. Ketiga, tipe ?opportunis?, yakni mereka yang lebih berorientasi pada kekuasaan sosial-politik dan ekonomi (?socioI-political power? and economic oriented). Aktar tipe ini berasal dari para free riders, aktivis partai politik, dan pejabat pemerintah. Studi ini manemukan data, bahwa dalam satu peristiwa yakni reklaiming/penjarahan Kalibakar, ternyata orientasi dari para aktomya berbeda-beda. Berdasarkan kerangka teori yang ada, diketahui bahwa formasi dan struktur gerakan sosial petani Kalibakar ditentukan oleh aspek-aspek: 1) ideologi tentang tanah dan program land reform, 2) kondusifitas struktural, 3) ketegangan struktural, 4) tumbuh dan berkembangnya kepercayaan umum (belief), 5) interest, 6) jaringan dukungan (organisasi dalam, free rider; dan organisasi luar), 7) mobilisasi, 8) kekuasaan, 9) kontrol sosial atau tingkat represi, 10) peluang, dan 11) aksi atau perilaku kolektif itu sendiri. Teori yang ditemukan dalam penelitian ini merupakan bagian dari teori sosiologi makro yang menaruh perhatian pada aksi atau perilaku kolektif dari suatu gerakan sosial petani. Teori ini mempergunakan konsep ?nilai tambah? dalam menjelaskan bagaimana ?penentu-penentu penting? saling memberikan kontribusinya masing-masing sehingga terjadi tindakan atau aksi kolektif. Di luar the important atau Ihe main determinants dari Smelser dan Tilly, peneliti melihat pentingnya menempatkan aspek networking sebagai salah satu elemen tambahan, serta penekanan pentingnya penjelasan tentang hukum aktivasi dan kontrol sosial dalam setiap tahapan proses teljadinya aksi atau tindakan kolektif. Berdasarkan temuan lapangan maupun teoritik di atas, peneliti diantaranya memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) studi terhadap gerakan sosial atau pun petani sebaiknya tidak terbatas pada kajian literatur, namun sebaiknya langsung di lapangan. Hal ini akan membuka peluang untuk diketahuinya segenap sistem nilai dan norma yang laten, serta untuk mengukur aktualitas teori yang selama ini dijadikan pedoman, 2) agar setiap ada penyalahgunaan tanah negara, segera dilakukan penertiban. Jika tidak maka permasalahannya akan semakin akut dan sulit diselesaikan secara baik- baik, 3) agar setiap penyelesaian permasalahan antara petani dengan perkebunan selalu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan hukum formal, kesejarahan sosial, dan tingkat kedalaman konflik yang tengah berlangsung. Pemerintah, perkebunan, dan petani harus kembali pada posisinya masing-masing, sehingga menjadi jelas hak dan kewajiban mereka dalam pross penyelesaian masalah itu. <hr> <i>Peasant as a class is part of Indonesian society which almost of all its life aspect is miserable. In the history, peasants always have to face problem about the limitation of land cultivation for his living hood. One of the strategies that peasants take to have the cultivation right is by making a pressure to the government to pursue land reform program. Indonesia as one the former Netherlands colonies also has to heritage many serious problems and of legal-uncertainty about the fair of ownership of the land that the peasants got from their ancestor in the time of the Japanese rule and the second Netherlands aggression. The unsuccessful agrarian management that is being done by Indonesian govemment worsens this legal- uncertainty. The peasant movement in Kalibakar can be said as part of dynamics of Indonesian peasant movement who demanded Indonesian govemment for the implementation of land reform over the former Netherlands? plantation area in for its legal certainty. The movement itself however has not only involved the peasants of Kalibakar, but also has involved individuals and institutions from the outside of area. This research categorizes that the movement of the peasant in Kalibakar has been in four periods. The first is ?the limited networking? period (year 1992-1993). The second is, ?the expansion of networking? period (1996-1997). The third is ?the peak of the networking? period (1998-2000), and the fourth is ?the declination of the movement? period (2001-2005). By the strategy of namely ?reclaiming? (as the peasants called it) or plundering (as the PTPN called it), finally the peasants of Kalibakar has been successfully taking over the cultivation right about 94% of the 2050.50 ha plantation area. The Endings is mainly analyzed by the two theories, which are the Smelser theory (1962) on the important determinants of collective behavior and the Charles Tilly theory (1978) on the main determinants of collective action. Smelser theory is used to analyze the position of the actors of the peasant movement who fought for the implementation of land reform policy, whereas Tilly theory is used to analyze the position of the actors of the peasant movement who sought their interest in the form of land asset and socio-political power. The thesis tries to combine or to bring together the two theories over the Kalibakar case. The objective of this research is trying to explain about the formation and of tlte structure of social movement that was carried out by the Kalibakar peasants. The research uses a qualitative approach with a grounded theory analysis. lt is noted that the research informants are 37 people which are the leaders of the movement and of the membership ofthe peasant movement, as well as the executive and employee of PTPN plantation, the government officials, the religious institution, NGO?s. a group of so called free riders, and from the member of people of Kalibakar. From the analysis, it is found that there have been three types of movement actors. First. ?the idealist type?, that is those who are more norm-oriented on the land-reform issue. This type consists of the leadership of the movement, NGO?s, and university students. Second, ?materialist type", that is those who are more land ownership -oriented. This type consists of the followers of the movement. which are the peasant them selves. Third. ?the opportunist type", that is those who are more social-political power and economy oriented. This type consists of the free riders, political parties activists, and govemment oflicials. This research founds that in the reclaimingfplundering events most ofthe many actors have different orientation. Based on the theory, it is found that the formation and the structure ofthe social movement of the peasants in Kalibakar is determined by several aspects: 1) the perceived ideology of the land and the impact of land-refomt program, 2) the structural conduciveness aspect of the conflict, 3) structural tension, 4) the development of common belief. 5) the public interest, 6) supportive network (internal organization, free-rider, and external organization), 7) mobilization, 8) power, 9) social control or repression level, 10) opportunity, and 11) collective action or behavior itself. The theory that is lbund by this research is seen as part of macro-sociological theory, which give attention to the collective action, or the behavior aspect of the peasant?s social movement. This theory uses ?the added value? concept in explaining about how ?decision-makers? share their contribution each other, which resulted in the collective action. Out ofthe Smelser?s important derernnnants and '1`illy?s main determinants, the thesis indicates the importance of networking aspect as one of the complement element. And this research is also emphasizing the importance of explanation about the activation law and social control in the every phase ofthe collective action. From the field finding and based on theoretical consideration, the thesis recommends that: 1) study on the social movement or the peasant movement should not only carried out based on the literature research level, but must be complemented by lield research and deep investigation. By this, it could promise a more deep knowledge about the hidden meaning and norm systems. and also to contextualize the actuality ofthe theory that is used as guidance of the research. 2) ln every cases of the misuse of the state-owned land- there should be a quick problem solving. Otherwise, the problem may invite more complicated and make it hard to be solved. 3). ln every problem solving over the conflict between peasant and the state authority, it should consider the fonnal legal basis aspect, the social history setting. and level conflict of in the on going different case. ln this, the govemment, plantation management, and peasant should be in their own position. so that it is clear about their respective rights and duties on the conflict solution.</i>