ZIKIR KHAFI DALAM TAREKAT NAQSYABANDI DI PONDOK PESANTREN SULAIMANIYAH KARANGASEM CATURTUNGGAL DEPOK SLEMAN YOGYAKARTA (RESEPSI MAKNA TERHADAP QS. AL-A’RAF AYAT 205)

Main Author: RONI ABDUL GHONI RIFA’I, NIM. 14530079
Format: Thesis NonPeerReviewed Book
Bahasa: ind
Terbitan: , 2018
Subjects:
Online Access: http://digilib.uin-suka.ac.id/34576/1/14530079_BAB%20I_BAB_TERAKHIR_DAFTAR_PUSTAKA.pdf
http://digilib.uin-suka.ac.id/34576/2/14530079_BAB%20II_S.D._SEBELUM_BAB_TERAKHIR.pdf
http://digilib.uin-suka.ac.id/34576/
Daftar Isi:
  • Penelitian ini mengkaji tentang tradisi Zikir Khafi yang dilakukan di Pondok Pesantren Sulaimaniyah. Pondok ini memiliki basic tarekat Naqsyabandiah yang berasal dari Syaikh Sulaiman Hilmi Tunahan di Turki. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, yaitu tentang Living Qur’an yang berupa pemahaman pelaku zikir terhadap Al-Qur’an yang diwujudkan dalam bentuk praktik zikir khafi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Selain itu, penelitian ini dilakukan melalui pendekatan antropologi Interpretatif Clifford Geertz yang membahas tentang sistem nilai, sistem simbol dan sistem makna. Dengan ketiga sistem tersebut diharapkan penelitian ini mampu menjawab pertanyaan tentang makna dibalik praktik zikir khafi yang dilakukan di pondok pesantren Sulaimaniyah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sejarah zikir khafi merujuk kepada cerita sahabat Abu Bakar ra yang sedang bersembunyi di dalam gua bersama Rosul ketika hendak berhijrah dari Makkah menuju Madinah. Sedangkan proses pelaksaan zikir khafi di Pondok Pesantren Sulaimaniyah dilakukan secara rutin setiap hari sekali dengan membaca lafaz Allah di dalam hati sebanyak 500 kali dengan syarat dan ketentuan tertentu. Jika dilihat dengan teori antropologi interpretatif Clifford Geertz, praktik itu memiliki beberapa simbol unik, diantaranya pengguanaan lafaz Allah yang diartikan lafaz yang telah mencakup segala macam zikir atau lafaz yang paling ma’rifah, duduk iftirasy diartikan sebagai duduk yang paling sopan ketika menghadap, pemilihan waktu zikir oleh pelaku zikir dengan alasan menghindari kantuk dan mencari titik kekhuyukan, serta menunduknya pandangan ke arah hati menandakan bahwa dengan hal itu pelaku zikir dapat lebih mengontrol hawa nafsu dan amarah yang letaknya diantara dua alis. Dalam memahami simbol-simbol tersebut pelaku zikir tidak terlepas oleh ruang lingkup agama dan sosial yang menyebabkan pelaku zikir melakukan sesuatu. Diantara ruang lingkup sosial tersebut adalah arahan serta bimbingan ustaz yang memberikan ijazah kepada pelaku zikir, sehingga pelaku zikir meyakini bahwa adanya konsep syafa’at, washilah (perantara) dan ita’ah (kepatuhan) terhadap ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Dengan keyakinan seperti itu dan didorong oleh perasan dan motivasi, pelaku zikir mengaplikasikanya ke dalam sebuah tradisi yakni zikir khafi atau berzikir dengan cara tidak melafalkan suara.