DETERMINAN KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI DI KECAMATAN GEBOG KABUPATEN KUDUS TAHUN 2006 DETERMINANTS OF ANEMIA INCIDENCE AMONG ADOLESCENTS IN KECAMATAN GEBOG KABUPATEN KUDUS, IN 2006

Main Author: Farida, Ida
Format: Thesis NonPeerReviewed application/pdf
Terbitan: , 2007
Subjects:
Online Access: http://eprints.undip.ac.id/17704/1/Ida_Farida.pdf
http://eprints.undip.ac.id/17704/
Daftar Isi:
  • Latar belakang: Berdasarkan survei nasional tahun 1995, prevalensi anemia pada remaja putri adalah sebesar 57,1%. Remaja putri lebih rawan terkena anemia dibandingkan usia anak-anak dan dewasa karena masa remaja adalah masa pertumbuhan, sedangkan pada masa ini remaja putri sudah memikirkan bentuk tubuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan kejadian anemia pada remaja putri di Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Metode: Penelitian observasional ini dilakukan secara Cross Sectional dengan metode survei. Populasi adalah remaja putri usia 13-18 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 163 orang yang diambil dari 4 desa dengan cara multistage random sampling. Data yang diteliti meliputi faktor sosial ekonomi keluarga, pengetahuan, dan sikap tentang anemia, tingkat konsumsi gizi (energi, protein, besi, vitamin A, dan vitamin C), pola menstruasi, Indeks Massa Tubuh, infeksi dan kadar hemoglobin pada remaja putri. Data dianalisis secara bivariat dengan uji korelasi Rank Spearman dan Chi-Square, kemudian dilanjutkan analisis multivariat dengan uji regresi logistik menggunakan metode forward. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan prevalensi anemia remaja putri di Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus sebesar 36,8%. Sebagian besar remaja putri mempunyai orangtua dengan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah. Sebagian besar remaja putri mempunyai pengetahuan yang baik tentang anemia, tetapi sikap kurang baik terhadap anemia. Sebagian besar remaja putri mempunyai IMT dan pola menstruasi yang normal, dan tidak menderita infeksi dalam satu bulan terakhir. Rata-rata tingkat kecukupan konsumsi energi 91,9% (SB=14,5%), protein 70,3% (SB=28,8%), besi 60,6% (SB=22,6%), vitamin A 77,8% (SB=18,1%), dan vitamin C 88,2% (SB=24,4%). Hasil uji korelasi menunjukkan ada hubungan pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, pengetahuan dan sikap remaja putri tentang anemia dengan tingkat konsumsi gizi (energi, protein, besi, vitamin A, dan vitamin C). Ada hubungan tingkat konsumsi gizi (energi, protein, besi, vitamin A, dan vitamin C), pola menstruasi, dan kejadian infeksi dengan kejadian anemia pada remaja putri (p<0,05). Simpulan: Determinan kejadian anemia pada remaja putri di Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus adalah tingkat konsumsi energi, tingkat konsumsi besi, tingkat konsumsi vitamin A, pola menstruasi, dan kejadian infeksi. Background: Anemia is one of the most prevalent nutrition problems. Based on a national survey in 1995, the prevalence of anemia was 57.1% among adolescent girls in Indonesia. Adolescent girls have higher risk of anemia compared to the schoolchildren and adults as they are still in the period of rapid growing, while they also start to think about body image. This study aimed to investigate the determinants of anemia among adolescent girls in Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Methods: This observational study was conducted cross sectionally by survey method. The population was adolescent girls aged 13-18 years, with a total sample of 163 girls who were chosen from the adolescent girls in four villages by multistage random sampling method. Variables included socioeconomic status of the family, knowledge and attitude toward anemia, food consumption levels (energy, protein, iron, vitamin A and vitamin C), menstruation pattern, BMI (Body Mass Index), infection status and hemoglobin level of the adolescent girls. Data were analysed by Rank Spearman correlation and Chi Square test, which then continued to multivariate analysis by logistic regression test (forward method). Results: The results showed that the prevalence of anemia among adolescent girls in Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus was 36.8%. Most of them had parents with low income and low education level. The subjects had good knowledge about anemia but lack of attitude about anemia. Most of the adolescent girls had normal BMI and menstruation pattern and had no infection in the last month of the study. The average energy consumption level was 91.9% (SD 14.5%), protein was 70.3% (SD 28.8%), iron was 60.6% (SD 22.6%), vitamin A was 77.8% (SD 18.1%) and vitamin C was 88.2% (SD 24.4%). The correlation tests showed that there were associations between parents’ education level, family income, adolescents’ knowledge and attitude toward anemia and food consumption levels (energy, protein, iron, vitamin A and C). There were correlations between food consumption levels (energy, protein, iron, vitamin A and C), menstruation pattern, infection incidence and anemia incidence (p<0.05). Conclusion: The determinants of anemia among adolescent girls in Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus were energy, iron, vitamin A consumption levels, menstruation pattern and infection incidence.