Pemalakan pada remaja ditinjau dari perbedaan jenis kelamin, karakteristik lingkungan, dan jenjang pendidikan / Tamsil Muis
Main Author: | Muis, Tamsil |
---|---|
Other Authors: | 1. JOHANA ENDANG PRAWITASARI ; 2. MARTHEN PALI ; 3. DANY M. HANDARINI |
Format: | PeerReviewed |
Bahasa: | ind |
Terbitan: |
Universitas Negeri Malang. Program Studi Bimbingan dan Konseling
, 2010
|
Subjects: | |
Online Access: |
http://mulok.library.um.ac.id/oaipmh/../home.php?s_data=Skripsi&s_field=0&mod=b&cat=3&id=40778 |
Daftar Isi:
- Di Indonesia, gejala pemalakan di sekolah-sekolah semakin meningkat frekuensinya. Hampir setiap sekolah terjadi peristiwa pemalakan, mulai dari sekedar menggoda sampai menyakiti fisik. Pemalakan (tindakan mengganggu, menggertak) merupakan bentuk perilaku anti-sosial yang diiringi dengan penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bukti-bukti penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemalakan lebih lazim dilakukan dan memberi dampak yang lebih merusak bagi jiwa anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Apa bentuk pemalakan yang dilakukan siswa pada beberapa sekolah menengah di Surabaya? (2) Apakah ada perbedaan bentuk pemalakan dilihat dari latar kepemalakan siswa yang dapat dirinci menjadi : (a) Jenis kelamin, (b) Karakteristik lingkungan sekolah, (c) Jenjang pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Lokasi penelitian berada di 6 sekolah jenjang SMP dan SMA yang berstatus negeri maupun swasta di Surabaya sebagai sampel sekolah. Responden penelitian berjumlah 206 siswa yang diambil secara acak pada sekolah yang telah ditetapkan sebagai sekolah sampel. Pengumpulan data menggunakan kuisioner dan dianalisis dengan teknik ANAVA menggunakan model SPSS-15 for Windows.Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Bentuk pemalakan yang terjadi pada remaja di sekolah-sekolah di Surabaya meliputi: fisik, verbal, isyarat, pemerasan, dan pengucilan. (2) Perbedaan bentuk pemalakan dilihat dari latar kepemalakan dapat dirinci menjadi: (a) Perbedaan bentuk / jenis pemalakan ditinjau dari perbedaan jenis kelamin: kecenderungan untuk menjadi pemalak maupun korban pemalakan fisik, verbal, isyarat, dan pemerasan sama besar antara pria dan wanita. Sedangkan kecenderungan untuk menjadi pemalak pengucilan sama besar antara pria dan wanita dan kecenderungan untuk menjadi korban pengucilan lebih besar pria dibandingkan dengan wanita. (b) Perbedaan bentuk / jenis pemalakan ditinjau dari perbedaan karakteristik lingkungan remaja di surabaya: kecenderungan untuk menjadi pemalak maupun korban pemalakan fisik, verbal, isyarat, pemerasan, dan pengucilan sama besar antara sekolah yang memiliki aturan ketat dan sekolah yang memiliki aturan longgar. (c) Perbedaan / jenis bentuk pemalakan ditinjau dari perbedaan jenjang pendidikan: Kecenderungan untuk menjadi pemalak sekaligus korban fisik, verbal, isyarat, pemerasan dan pengucilan sama besar antara SMP dan SMA.Hipotesis penelitian ditolak, karena tidak ada perbedaan bentuk pemalakan berdasarkan latar kepemalakannya yaitu berdasarkan jenis kelamin, karakteristik lingkungan dan jenjang pendidikan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan hasil-hasil penelitian sebelumnya dengan sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini tidak mendukung atau tidak memvalidasi teori yang telah ada karena hasil penelitian berbeda dengan teori. Berdasarkan simpulan hasil penelitian, maka dikemukakan dua saran berikut: (1) Penelitian ini hanya terbatas pada tiga variabel yaitu jenis kelamin, karakteristik lingkungan, dan jenjang pendidikan. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dipertimbangkan masuknya variabel latar belakang keluarga; khususnya pola pendidikan yang dialami anak dalam keluarga tampaknya juga membawa pengaruh terhadap terjadinya tindakan pemalakan. (2) Focus Group Discution (FGD) yang dilakukan pada penelitian ini terjadi secara berulang-ulang untuk kelompok yang sama dan heterogen. Semestinya FGD dilakukan cukup satu kali untuk satu kelompok yang homogen. (3) Sekolah memiliki peranan dan tanggung jawab terhadap upaya-upaya anti pemalakan. Di sekolah para siswa banyak bergaul dengan teman sebayanya; dan sekolah berkewajiban untuk menciptakan dan mendorong terjadinya pergaulan yang sehat. Ujung tombak dari program ini di sekolah, terletak pada Konselor. Oleh karena itu, Konselor perlu mendapatkan pelatihan yang memadai tentang program anti pemalakan. (4) Diduga kuat bahwa temuan penelitian tidak hanya berlaku pada siswa di Surabaya, tetapi juga berlaku pada siswa di kota-kota lain di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian serupa di kota-kota lain dengan menggunakan pendekatan-pendekatan lain, seperti longitudinal dan studi kasus. Dengan demikian, akan menghasilkan data dan simpulan-simpulan lebih luas dan komprehensif yang dapat memperjelas gambaran tentang pemalakan.